Pages

Minggu, 10 Juli 2011

Ahkam Al-Muhdits (Hukum-Hukum Orang Yang Berhadats)

Ahkam Al-Muhdits
(Hukum-Hukum Orang Yang Berhadats)

Telah kita sebutkan di awal pembahasan kitab thaharah, bahwa thaharah adalah perbuatan menghilangkan hadats dan amalan yang semakna dengannya atau hilangnya najis. Dan kita juga telah mengetahui bahwa hadats terbagi menjadi dua: Akbar (besar) dan ashghar (kecil), dimana hadats akbar adalah hadats yang hanya bisa diangkat dengan mandi, sementara hadats kecil adalah hadats yang cukup diangkat dengan wudhu, dan pada keduanya jika tidak ada air maka diganti dengan tayammum.
Contoh hadats akbar adalah kekafiran, junub, serta haid dan nifas, sementara contoh hadats kecil adalah tidur, buang angin, dan buang air.
Adapun kali ini kami akan membahas mengenai hukum-hukum berkenaan dengan orang yang terkena hadats, baik akbar maupun ashghar. Ada banyak hukum berkenaan dengan mereka, akan tetapi di sini kami hanya akan membahas hukum yang sering dipertanyakan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu:
1. Hukum berzikir.
2. Hukum membaca Al-Qur`an.
3. Hukum menyentuh mushaf Al-Qur`an.
4. Hukum masuk masjid.
5. Hukum sujud syukur dan tilawah.
Bolehkah kelima amalan ini dilakukan oleh orang yang belum berwudhu setelah hadats kecil, atau orang junub, atau wanita haid dan nifas? Berikut uraiannya secara berurut:
1. Hukum berzikir.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa wanita yang haid atau orang yang junub atau selainnya dari kalangan orang yang berhadats, boleh bagi mereka untuk berzikir kepada Allah walaupun zikir tersebut mengandung ayat Al-Qur`an kalau memang zikir tersebut juga terdapat dalam Al-Qur`an, selama dia tidak meniatkan kalau yang dibaca itu adalah Al-Qur`an akan tetapi zikir yang bersifat umum, seperti: Basmalah, hamdalah, dan zikir-zikir lainnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (1/200), “Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka (para ulama) bahwa mereka (orang-orang yang berhadats) boleh berzikir kepada Allah Ta’ala, karena mereka butuh untuk membaca basmalah ketika mereka akan mandi (junub) dan tidak mungkin mereka menghindar dari hal ini.”
Nukilan ijma’ juga dinukil oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/163) dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (1/77)

2. Hukum membaca Al-Qur`an.
Yang dimaksud dengan membaca di sini adalah bacaan yang disertai dengan bergeraknya lidah. Adapun melihat ke mushaf (tanpa menyentuhnya) lalu dia membacanya dalam hati tanpa menggerakkan lidahnya, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama akan bolehnya. Demikian yang diterangkan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/163)
Adapun hadats ashghar, maka Imam An-Nawawi berkata, “Kaum muslimin bersepakat akan bolehnya membaca AL-Qur`an bagi orang yang berhadats dengan hadats ashghar, tapi lebih utama jika dia berwudhu dahulu.” (Al-Majmu’: 2/163)
Adapun hukum membaca Al-Qur`an bagi orang yang berhadats akbar, maka ada tiga pendapat di kalangan ulama:
1. Tidak boleh bagi yang berhadats besar untuk membaca Al-Qur`an. Ini adalah mazhab Al-Hanafiah, Imam Malik -dalam salah satu riwayat-, Asy-Syafi’iyah, dan Ahmad -dalam sebuah riwayat-. Ini juga adalah pendapat Al-Hasan, An-Nakhai, Az-Zuhri, Qatadah, Atha`, Said bin Jubair, dan merupakan pendapat mayoritas ulama.
Mereka berdalil dengan beberapa hadits berikut:
a. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

لاَ تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

“Wanita yang haid dan juga orang yang junub tidak boleh membaca sedikit pun dari Al-Qur`an.” (HR. At-Tirmizi: 1/236 dan Ibnu Majah: 1/195)
Hadits ini berasal dari dua jalan:
Pertama: Dari riwayat Ismail bin Ayyasy dari Musa bin Uqbah Al-Qurasyi dari Nafi’ dari Ibnu Umar, sementara riwayat Ismail dari para perawi Hijaz adalah riwayat yang lemah, dan ini di antaranya.
Kedua: Dari jalan seorang lelaki dari Abui Ma’syar Najih dari Musa bin Uqbah dan seterusnya. Sisi kelemahannya jelas, karena adanya rawi yang mubham (tidak tersebut namanya) dan Abu Ma’syar telah dinyatakan lemah oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib.
Karenanya Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (1/409), “Hadits Ibnu Umar lemah dari seluruh jalan-jalannya.” Lihat juga Ilal Ibnu Abi Hatim (1/49)
Lafazh ini juga diriwayatkan dari Jabir secara marfu’ (dari Nabi) akan tetapi di dalam sanadnya ada Muhammad bin Al-Fadhl seorang rawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya), dan juga diriwayatkan darinya secara mauquf (dari ucapannya) akan tetapi di dalam sanadnya ada Yahya bin Abi Unaisah dan dia adalah seorang pendusta. Demikian disebutkan dalam At-Talkhish Al-Habir karya Ibnu Hajar (1/138), dan lihat juga Al-Irwa` hadits no. 192
b. Dari Ali -radhiallahu anhu- secara marfu’:

لَمْ يَكُنْ يُحْجِبُهُ عَنِ الْقُرْآنِ إِلاَّ الْجَنَابَةُ

“Tidak ada sesuatu pun yang memisahkan beliau (Nabi) -shallallahu alaihi wasallam- dari Al-Qur`an kecuali junub.” (HR. Abu Daud: 1/155, At-Tirmizi: 1/98,99, An-Nasai: 1/157, dan Ibnu Majah: 1/195)
Dan dalan sebuah lafazh, “Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- biasa membacakan Al-Qur`an kepada kami dalam keadaan apapun, selama beliau tidak dalam keadaan junub.” (HR. At-Tirmizi: 1/98)
Hadits ini juga berlaku bagi wanita yang haid karena keduanya adalah hadats akbar.
Ini juga adalah hadits yang lemah karena berasal dari riwayat Abdullah bin Salamah, seorang rawi yang rusak hafalannya di akhir hidupnya, dan ini adalah riwayatnya setelah hafalannya berubah, sebagaimana yang dikatakan oleh Syu’bah bin Al-Hajaj –rahimahullah- dan didukung oleh Al-Baihaqi. Al-Khaththabi berkata -sebagaimana dalam At-Talkhish (1/139)-, “Ahmad menyatakan lemahnya hadits ini.”
c. Juga dari Ali beliau berkata, “Saya melihat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- berwudhu kemudian beliau membaca beberapa ayat Al-Qur`an. Kemudian beliau bersabda:

هَكَذَا لِمَنْ لَيْسَ جُنُبًا. فَأَمَّا الْجُنُبُ فَلاَ وَلاَ آيَةٌ

“Demikianlah sepantasnya bagi orang yang tidak junub, adapun orang yang junub maka dia tidak boleh membaca walaupun satu ayat.” (HR. Ahmad: 1/110)
Hadits ini berasal dari riwayat Abu Al-Gharif dari Ali, sementara Abu Al-Gharif adalah rawi yang majhul. Selain itu, hadits ini diperselisihkan apakah dia marfu’ dari Nabi ataukah mauquf atas Ali. Yang kuat dalam masalah ini bahwa hadits ini mauquf dari perkataan Ali bin Abi Thalib. Lihat keterangannya dalam Al-Ahkam Al-Mutarattibah alal Haidh wan Nifas hal. 23-24
d. Dari Abdullah bin Malik Al-Ghafiqi bahwa dia mendengar Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Jika saya berwudhu dalam keadaan junub maka saya makan dan minum, tapi saya tidak akan membaca (Al-Qur`an) sampai saya mandi.” (HR. Al-Baihaqi: 1/308)
Hadits ini dinyatakan lemah oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/180).
e. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:

إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ

“Sesungguhnya saya tidak senang berzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan thaharah.”
Akan tetapi hadits ini tidak menunjukkan tidak bolehnya membaca Al-Qur`an, karena paling tinggi kita katakan ketidaksenangan beliau ini hanya mempunyai hukum makruh. Dengan dalil ucapan Aisyah -radhiallahu anha-, “Nabi -alaihishshalatu wassalam- selalu berzikir kepada Allah dalam setiap keadaan.”
f. Dari Abdullah bin Rawahah dia berkata:

قَدْ نَهَى النَّبِيُّ أَنْ يَقْرَأَ أَحَدُنَا الْقُرْآنَ وَهُوَ جُنُبٌ

“Sungguh Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah melarang kami untuk membaca Al-Qur`an dalam keadaan junub.”
Sanad hadits ini terputus karenanya dia adalah hadits yang lemah, sebagaimana yang dinyatakan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/180)
2. Boleh bagi orang yang berhadats besar untuk membaca Al-Qur`an. Ini adalah pendapat Malik -dalam riwayat yang paling masyhur darinya- dan merupakan mazhab Al-Malikiah, juga merupakan salah satu pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad -dalam satu riwayat darinya-, dan juga merupakan mazhab Azh-Zhahiriah dan juga pendapat dari Said bin Al-Musayyab. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiah dan Ibnu Al-Mundzir.
Dalil-dalil mereka sebagai berikut:
a. Sudah masyhur dalam riwayat-riwayat yang shahih bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- mengirim surat yang di dalamnya tertulis beberapa ayat Al-Qur`an kepada para pembesar orang kafir sementara kekafiran adalah hadats besar. Ini menunjukkan bolehnya orang yang haid dan junub untuk menyentuh dan membaca Al-Qur`an.
b. Dari Aisyah beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَذْكُرُ اللهَ فِي كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- selalu berzikir kepada Allah pada setiap keadaannya.” (HR. Muslim: 1/282)
c. Dari Aisyah bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda kepada dirinya tatkala dia haid saat perjalanan menuju haji:

اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِيْ

“Lakukan apa saja yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali tawaf di Ka’bah sampai kamu suci.” (HR. Al-Bukhari: 1/77 dan Muslim: 2/873)
d. Ibnu Hazm meriwayatkan dalam Al-Muhalla (1/105) dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- bahwa beliau membaca Al-Qur`an dalam keadaan junub.
e. Membaca Al-Qur`an adalah termasuk zikir kepada Allah dan dia senantiasa dianjurkan, karenanya barangsiapa yang mengklaim terlarangnya dalam keadaan hadats akbar maka hendaknya dia mendatangkan dalil, dan tidak ada satu pun dalil shahih dalam masalah ini sebagaimana yang telah diterangkan.
3. Membaca Al-Qur`an dibolehkan bagi wanita haid dan nifas tapi tidak dibolehkan bagi orang yang junub. Ini adalah salah satu pendapat dari Imam Malik dan salah satu pendapat dalam mazhab Al-Hanabilah.
Hal itu karena hadats mereka (haid dan nifas) timbul bukan karena kehendak mereka akan tetapi sudah ketentuan dari Allah, berbeda halnya dengan junub yang biasanya timbul karena kehendak dirinya.
Waktu haid dan nifas juga lebih lama dibandingkan junub. Jika para wanita yang haid dan nifas dilarang membaca Al-Qur`an maka akan menyulitkan mereka dan bisa saja hafalan mereka hilang jika tidak diulangi dalam jangka waktu yang lama, terlebih dalam nifas yang lamanya 40 hari. Adapun junub, maka dia bisa dihilangkan pada saat itu juga dengan segera mandi.

Tarjih:
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat kedua yang menyatakan bolehnya orang yang berhadats akbar untuk membaca Al-Qur`an. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani -rahimahullah-.

Jumat, 08 Juli 2011

hakekat jilbab ( bacalah wahai saudara saudariku )


Kisah ini saya dapat dari sahabatku yang bekerja di salah satu perusahaan asing. Disini saya kutipkan kisah nyata seorang gadis yang menginjak remaja atau kerennya jaman sekarang (ABG) yang sebelumnya tidak karuan tingkah lakunya, namun setelah sadar akan kekeliruannya dan sudah mengerti “HIKMAH MEMAKAI JILBAB” Allah Ta’ala memanggilnya.

Kisah nyata ini dari kawan saya bekerja. Kisah nyata ini semoga berguna bagi yang membacanya, terutama kaum Hawa, juga bagi yang punya istri, yang punya anak perempuan, adik perempuan, saudara perempuan, kakak perempuan, yang masih punya Ibu, yang punya keponakan perempuan……..

Sahabatku menceritakan: Ini cerita tentang adikku Nur Annisa , gadis yang baru beranjak dewasa namun rada Bengal dan tomboy. Pada saat umur adikku menginjak 17 tahun, perkembangan dari tingkah lakunya rada mengkhawatirkan ibuku , banyak teman cowoknya yang datang kerumah dan itu tidak mengenakkan ibuku sebagai seorang guru ngaji.

Untuk mengantisipasi hal itu ibuku menyuruh adikku memakai jilbab, namun selalu ditolaknya hingga timbul pertengkaran pertengkaran kecil diantara mereka. Pernah satu kali adikku berkata dengan suara yang rada keras: “Mama coba lihat deh , tetangga sebelah anaknya pakai jilbab namun kelakuannya ngga beda beda ama kita kita , malah teman teman Ani yang disekolah pake jilbab dibawa om om , sering jalan jalan , masih mending Ani, walaupun begini-gini ani nggak pernah ma kaya gituan ” , bila sudah seperti itu ibuku hanya mengelus dada, kadangkala di akhir malam kulihat ibuku menangis , lirih terdengar doanya: “Ya Allah , kenalkan Ani dengan hukum Engkau ya Allah “.

Pada satu hari didekat rumahku, ada tetangga baru yang baru pindah. Satu keluarga dimana mempunyai enam anak yang masih kecil kecil. Suaminya bernama Abu Khoiri ,(entah nama aslinya siapa) aku kenal dengannya waktu di masjid.

Setelah beberapa lama mereka pindah timbul desas desus mengenai istri dari Abu Khoiri yang tidak pernah keluar rumah , hingga dijuluki si buta , bisu dan tuli. Hal ini terdengar pula oleh Adikku , dan dia bertanya sama aku: “Kak , memang yang baru pindah itu istrinya buta , bisu dan tuli ? “..hus aku jawab sambil lalu” kalau kamu mau tau datangin aja langsung kerumahnya”.

Eehhh tuuh, anak benar benar datang kerumah tetangga baru. Sekembalinya dari rumah tetanggaku , kulihat perubahan yang drastis pada wajahnya, wajahnya yang biasa cerah nggak pernah muram atau lesu mejadi pucat pasi….entah apa yang terjadi.?

Namun tidak kusangka selang dua hari kemudian dia meminta pada ibuku untuk dibuatkan Jilbab ..yang panjang, lagi..rok panjang, lengan panjang…aku sendiri jadi bingung….aku tambah bingung campur syukur kepada Allah karena kulihat perubahan yang ajaib..yah kubilang ajaib karena dia berubah total..tidak banyak lagi anak cowok yang datang kerumah atau teman teman wanitanya untuk sekedar bicara yang nggak karuan…kulihat dia banyak merenung, banyak baca baca majalah islam yang biasanya dia suka beli majalah anak muda kaya gadis atau femina ganti jadi majalah majalah islam , dan kulihat ibadahnya pun melebihi aku …tak ketinggalan tahajudnya, baca Qur’annya, sholat sunat nya…dan yang lebih menakjubkan lagi….bila teman ku datang dia menundukkan pandangan…Segala puji bagi Engkau ya Allah jerit hatiku..

Tidak berapa lama aku dapat panggilan kerja di kalimantan, kerja di satu perusahaan asing (PMA). Dua bulan aku bekerja disana aku dapat kabar bahwa adikku sakit keras hingga ibuku memanggil ku untuk pulang ke rumah (rumahku di Madiun). Di pesawat tak henti hentinya aku berdoa kepada Allah agar Adikku di beri kesembuhan, namun aku hanya berusaha, ketika aku tiba di rumah, didepan pintu sudah banyak orang, tak dapat kutahan aku lari masuk kedalam rumah, kulihat ibuku menangis, aku langsung menghampiri dan memeluk ibuku, sambil tersendat sendat ibuku bilang sama aku: “Dhi, adikkmu bisa ucapkan dua kalimat Syahadah diakhir hidupnya “..Tak dapat kutahan air mata ini…

Setelah selesai acara penguburan dan lainnya, iseng aku masuk kamar adikku dan kulihat Diary diatas mejanya..diary yang selalu dia tulis, Diary tempat dia menghabiskan waktunya sebelum tidur kala kulihat sewaktu adikku-rahimahullah masih hidup, kemudian kubuka selembar demi selembar…hingga tertuju pada satu halaman yang menguak misteri dan pertanyaan yang selalu timbul di hatiku..perubahan yang terjadi ketika adikku baru pulang dari rumah Abu Khoiri…disitu kulihat tanya jawab antara adikku dan istri dari tetanggaku, isinya seperti ini :

Tanya jawab ( kulihat dilembaran itu banyak bekas tetesan airmata ):

Annisa : Aku berguman (wajah wanita ini cerah dan bersinar layaknya bidadari), ibu, wajah ibu sangat muda dan cantik.

Istri tetanggaku : Alhamdulillah, sesungguhnya kecantikan itu datang dari lubuk hati.

Annisa : Tapi ibu kan udah punya anak enam, tapi masih kelihatan cantik.

Istri tetanggaku : Subhanallah, sesungguhnya keindahan itu milik Allah dan bila Allah berkehendak, siapakah yang bisa menolaknya.

Annisa : Ibu, selama ini aku selalu disuruh memakai jilbab oleh ibuku, namun aku selalu menolak karena aku pikir nggak masalah aku nggak pakai jilbab asal aku tidak macam macam dan kulihat banyak wanita memakai jilbab namun kelakuannya melebihi kami yang tidak memakai jilbab, hingga aku nggak pernah mau untuk pakai jilbab, menurut ibu bagaimana?

Istri tetanggaku : Duhai Annisa, sesungguhnya Allah menjadikan seluruh tubuh wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki, segala sesuatu dari tubuh kita yang terlihat oleh bukan muhrim kita semuanya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Ta’ala diakhirat nanti, jilbab adalah hijab untuk wanita.

Annisa : Tapi yang kulihat banyak wanita yang memakai jilbab yang kelakuannya nggak enak, nggak karuan.

Istri Tetanggaku : Jilbab hanyalah kain, namun hakekat atau arti dari jilbab itu sendiri yang harus kita pahami.

Annisa : Apa itu hakekat jilbab ?

Istri Tetanggaku : Hakekat jilbab adalah hijab lahir batin. Hijab mata kamu dari memandang lelaki yang bukan mahram kamu. Hijab lidah kamu dari berghibah (ghosib) dan kesia-siaan, usahakan selalu berdzikir kepada Allah . Hijab telinga kamu dari mendengar perkara yang mengundang mudharat baik untuk dirimu maupun masyarakat. Hijab hidungmu dari mencium cium segala yang berbau busuk. Hijab tangan-tangan kamu dari berbuat yang tidak senonoh. Hijab kaki kamu dari melangkah menuju maksiat.

Hijab pikiran kamu dari berpikir yang mengundang syetan untuk memperdayai nafsu kamu. Hijab hati kamu dari sesuatu selain Allah , bila kamu sudah bisa maka jilbab yang kamu pakai akan menyinari hati kamu, itulah hakekat jilbab.

Annisa : Ibu aku jadi jelas sekarang dari arti jilbab, mudah mudahan aku bisa pakai jilbab, namun bagaimana aku bisa melaksanakan semuanya.

Istri tetanggaku : Duhai Anisa bila kamu memakai jilbab itulah karunia dan rahmat yang datang dari Allah yang Maha Pemberi Rahmat, yang Maha Penyayang, bila kamu mensyukuri rahmat itu kamu akan diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan amalan jilbab hingga mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah .

Duhai Anisa, ingatlah akan satu hari dimana seluruh manusia akan dibangkitkan dari kuburnya. Ketika ditiup terompet yang kedua kali, pada saat roh roh manusia seperti anai anai yang bertebaran dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas, yang tanahnya dari logam yang panas, tidak ada rumput maupun tumbuhan.

Ketika tujuh matahari didekatkan di atas kepala kita namun keadaan gelap gulita. Ketika seluruh Nabi ketakutan. Ketika ibu tidak memperdulikan anaknya, anak tidak memperdulikan ibunya, sanak saudara tidak kenal satu sama lain lagi, kadang satu sama lain bisa menjadi musuh, satu kebaikan lebih berharga dari segala sesuatu yang ada dialam ini.

Ketika manusia berbaris dengan barisan yang panjang dan masing masing hanya memperdulikan nasib dirinya, dan pada saat itu ada yang berkeringat karena rasa takut yang luar biasa hingga menenggelamkan dirinya, dan rupa rupa bentuk manusia bermacam macam tergantung dari amalannya, ada yang melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan, ada yang berbentuk seperti hewan, ada yang berbentuk seperti syetan, semuanya menangis, menangis karena hari itu Allah murka, belum pernah Allah murka sebelum dan sesudah hari itu, hingga ribuan tahun manusia didiamkan Allah dipadang mahsyar yang panas membara hingga Timbangan Mizan digelar itulah hari Yaumul Hisab.

Duhai Annisa, bila kita tidak berusaha untuk beramal dihari ini, entah dengan apa nanti kita menjawab bila kita di sidang oleh Yang Maha Perkasa, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuat, Yang Maha Agung, Allah. Di Yaumul Hisab nanti! Di Hari Perhitungan nanti!!

Sampai disini aku baca diarynya karena kulihat, berhenti dan banyak tetesan airmata yang jatuh dari pelupuk matanya, Subhanallah, kubalik lembar berikutnya dan kulihat tulisan, kemudian kulihat tulisan kecil di bawahnya: buta, tuli dan bisu, wanita yang tidak pernah melihat lelaki selain muhrimnya, wanita yang tidak pernah mau mendengar perkara yang dapat mengundang murka Allah Ta’ala, wanita yang tidak pernah berbicara ghibah, ghosib dan segala sesuatu yang mengundang dosa dan sia sia tak tahan airmata ini pun jatuh membasahi diary.

Itulah yang dapat saya baca dari diarynya, semoga Allah menerima Adikku di sisinya, Amin , Subhanallah.

Bapak-Bapak, Ibu-ibu, Saudara-Saudaraku, adik-adikku dan Anak-anakku yang dimuliakan oleh Allah . Khususnya kaum hawa. Saya mengharap kisah nyata ini bisa menjadi iktibar, menjadi pelajaran bagi kita , bagi putri-putri kita semua. Semoga meresap dihati yang membacanya dan semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi petunjuk, memberi Rahmat, hidayah bagi yang membaca dan menghayatinya.

Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan iman kita untuk menjalankan (memenuhi) segala perintah-Nya dan menjauhi segala apa-apa yang dilarang-Nya, dan mendapat derajat takwa yang tinggi, selamat didunia sampai di akhirat nanti, mendapat pertolongan dan syafa’at di hari yaumul hisab dan mendapat surga yang tinggi, amien. Wallaahu a’lam bish shawab, billaahi taufik wal hidayah. Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.

sumber :fb maktabah ilmu (dengan sedikit perbaikan kata)



sumber : http://enkripsi.wordpress.com/2010/11/24/hakekat-jilbab/

Kutitip surat ini untukmu


Assalamu’alaikum,

Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Amin…



Wahai anakku,

Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara… Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka…



Wahai anakku!

Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati dan telah engkau robek pula perasaanku.



Wahai anakku… 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi…



Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.



Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu gembira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.



Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.



Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau pun lahir… Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air ke kerongkonganku.



Wahai anakku… telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.



Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu… itulah kebahagiaanku!



Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.



Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.



Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.



Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.



Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah yang menelepon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang.



Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.



Anakku… ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.



Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!!



Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.



Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit… Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu masih seperti dulu… Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.



Sekiranya engakau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu… Mana balas budimu, nak!?



Mana balasan baikmu! Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak! Susu yang Ibu berikan engkau balas dengan tuba. Bukankah Allah ta’ala telah berfirman, “Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman: 60) Sampai begitu keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu?!



Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?! Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?



Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantumu . Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang layak untukku wahai anakku!



Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah ta’ala mencintai orang yang berbuat baik.



Wahai anakku!! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.



Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki supel, dermawan, dan berbudi.



Anakku… Tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Hanya karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?!



Wahai anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah ta’ala, sebagaimana dalam hadits: “Orang tua adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)



Anakku. Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau telah beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan bersedekah.



Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar yang terlalaikan olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia? Beliau bersabda: “Shalat pada waktunya”, aku berkata: “Kemudian apa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Berbakti kepada kedua orang tua”, dan aku berkata: “Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya. (Muttafaqun ‘alaih)



Wahai anakku!! Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.



Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?



Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang”, dikatakan, “Siapa dia,wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab, “Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga”. (HR. Muslim)



Anakku… Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada dokter yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku… Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu tega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku.



Bangunlah Nak! Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau akan menjadi tua pula, dan al jaza’ min jinsil amal… “Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam…” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.



Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.Anakku… Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.



Wassalam,

Ibumu



Diketik ulang dari buku

‘Kutitip Surat Ini Untukmu’

karya Ustadz

Armen Halim Naro, Lc rahimahullahu rahmatan waasi'ah