Pages

Rabu, 14 April 2010

aina nahnu minhum


Kharijiy : “Wahai Abu Hanifah. Bertaubatlah engkau !”
Abu Hanifah : “Dari perkara apakah aku harus bertaubat?”
Kharijiy : “Engkau memperbolehkan tahkim antara Ali dengan Mu’awiyah.”
Abu Hanifah : “Maukah Engkau seandainya kita berdebat dalam masalah ini?”
Kharijiy : “Baiklah..”
Abu Hanifah : “Apabila kita terus berselisih pendapat, maka siapa yang akan menjadi hakim di antara kita?”
Kharijiy : “Tunjuklah hakim sesukamu!”
Abu Hanifahpun menunjuk seorang teman Sang Kharijiy.
Abu Hanifah : “Aku ridha terhadap temanmu. Apakah kamu ridha kalau dia menjadi hakim di antara kita?”
Kharijiy : “Tentu saja.”
Abu Hanifah : “Celakalah Engkau. Apakah Engkau memperbolehkan tahkim di antara kita dan mengingkari apa yang telah dilakukan oleh dua orang sahabat Rasulullah…!!!”

Abu Hanifah ketika menghadapi seorang Khawarij bernama Adh-Dhahhak bin Asy-Syari


Abu Hanifah : “Aku datang meminang anak perempuanmu untuk seorang temanku.”
Fulan : “Duhai selamat datang Wahai Imam. Orang sepertimu tidak pantas untuk ditolak keinginannya. Namun siapa yang meminang anakku?”
Abu Hanifah : “Seseorang yang mulia lagi kaya di antara kaumnya, ringan tangan dan suka menolong, menghidupkan semua malamnya dengan shalat, banyak menangis karena takut kepada Allah…”
Fulan : “Wah, wah. Cukuplah Wahai Imam. Sebagian sifatnya saja sudah membuatnya pantas untuk bersanding dengan anakku.”
Abu Hanifah : “Hanya saja dia juga memiliki satu sifat yang harus Engkau ketahui.”
Fulan : “Apa itu?”
Abu Hanifah : “Dia adalah seorang Yahudi.”
Fulan : “Yahudi… Apakah Engkau rela kalau anak perempuanku menjadi istri seorang Yahudi. Demi Allah. Aku tidak akan menikahkannya walaupun dia memiliki semua sifat kebaikan!!”
Abu Hanifah : “Engkau menolak menikahkan anakmu dengan seorang Yahudi, dan Engkau mengingkarinya dengan sangat. Kemudian Engkau menyebarkan kepada manusia bahwa Rasulullah menikahkah dua orang putrinya dengan seorang Yahudi..??”

Abu Hanifah ketika menghadapi seorang yang mengatakan bahwa ‘Utsman bin Affan adalah seorang Yahudi


“Celakalah kalian. Apakah kalian tidak mengetahui kepada siapa aku akan menghadap, dan kepada siapa aku akan bermunajat…!!”

Ali bin Husain Zainal Abdin ketika ditanya mengapa sekujur tubuhnya bergetar setiap kali berwudhu dan melaksanakan shalat








Aku berselisih paham dengan Ali Zainal Abidin sehingga akupun mendatanginya dan mengumpatnya. Tidak ada satu umpatanpun kecuali aku katakan kepadanya, padahal Beliau sedang berada di tengah para sahabatnya. kemudian aku pergi meninggalkannya.
Ketika malam tiba, datanglah Ali kepadaku dan aku tidak ragu lagi bahwa Beliau datang untuk membalas perbuatanku tadi. Namun ternyata Beliau hanya mengatakan, “Wahai saudaraku. Jika apa yang Engkau katakan tadi adalah benar, maka semoga Allah mengampuniku. Dan jika apa yang Engkau katakan tadi adalah salah, maka semoga Allah mengampunimu…!”
Akupun berkata kepadanya, “Demi Allah. Aku tidak akan mengulangi perbuatan yang Engkau benci.”
Beliau menjawab, “Aku telah memaafkan apa yang telah Engkau katakan tadi.”

Al-Hasan bin Al-Hasan tentang Ali bin Al-Husain Zainal Abidin


Khalifah : “Wahai Abu Hazim. Mengapa kita membenci kematian?”
Abu Hazim : “Karena kita telah memakmurkan dunia kita dan menghancurkan akhirat kita, maka kita membenci keluar dari kemakmuran menuju kehancuran.”
Khalifah : “Engkau benar. Wahai Abu Hazim. Seandainya saja kita mengetahui apa yang akan kita dapatkan di hari esok.”
Abu Hazim : “Perlihatkan amalan-amalan kamu terhadap Kitab Allah maka Engkau akan mengetahuinya.”
Khalifah : “Dan di mana aku akan menemukannya di Kitab Allah?”
Abu Hazim : “Engkau akan menemuinya di ayat Allah إِنَّ الأَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍ وَ إِنَّ الفُجَّارَ لَفِيْ جَحِيْمٍ “
Khalifah : “Kalau begitu, di manakah rahmat Allah?”
Abu Hazim : “إِنَّ رَحْمَةَ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ المُحْسِنِيْنَ “
Khalifah : “Seandainya aku tahu bagaimana kita akan menghadap Allah besok…”
Abu Hazim : “Adapun seorang yang muhsin, maka seperti orang hilang yang datang kepada keluarganya. Sedangkan musi’, maka seperti seorang budak yang kabur dan diseret kembali kepada tuannya.”

Abu Hazim Salamah bin Dinar ketika berdialog dengan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik


Khalifah : “Wahai Abu Hazim. Bagaimana kita memperbaiki diri?”
Abu Hazim : “Ketika kita meninggalkan kesombongan, dan menghiasi diri dengan akhlak yang baik.”
Khalifah : “Dan harta ini, bagaimana cara kita bertakwa kepada Allah atasnya?”
Abu Hazim : “Ketika kita mengambilnya dengan hak, meletakkannya di tempat yang halal, membaginya kepada orang yang membutuhkannya.”
Khalifah : “Beritahukan kepadaku siapa orang yang paling utama…”
Abu Hazim : “Orang-orang yang memiliki ketakwaan dan akhlak yang baik.”
Khalifah : “Apa perkataan yang paling adil?”
Abu Hazim : “Kalimat kebenarang yang dikatakan kepada orang yang ditakuti dan diharapkan.”
Khalifah : “Do’a apa yang paling cepat diijabahi?”
Abu Hazim : “Do’a seorang muhsin kepada orang-orang muhsin yang lain.”
Khalifah : “Apa sedekah yang paling utama?”
Abu Hazim : “Sedekah orang yang hanya mempunyai sedikit harta kepada orang yang sangat membutuhkannya tanpa mengungkit-ungkitnya kembali.”
Khalifah : “Siapa orang yang paling cerdik?”
Abu Hazim : “Seseorang yang melakukan ketaatan kepada Allah kemudian mengajak manusia kepada ketaatan tersebut.”
Khalifah : “Dan siapa orang yang paling bodoh?’
Abu Hazim : “Seeorang yang berjalan bersama hawa nafsu temannya ynag dzalim. Dia menjual akhiratnya dengan dunia.”

Abu Hazim Salamah bin Dinar ketika berdialog dengan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik


Khalifah : “Katakan keperluanmu Wahai Abu Hazim!”
Abu Hazim : “Keperluanku adalah…Supaya Engkau menyelamatkanku dari Neraka dan memasukkanku ke dalam Surga.”
Khalifah : “Itu bukanlah urusanku.”
Abu Hazim : “Dan apa keperluanku selain itu Wahai Amirul Mukminin…?”

Abu Hazim Salamah bin Dinar ketika berdialog dengan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik


Tidak lama kemudian datanglah beberapa orang dari kota Hims kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Umar berkata, “Tulislah untukku nama orang-orang fakir di antara kalian sehingga aku bisa memenuhi kebutuhan mereka!”
Mereka pun menulis beberapa nama, Fulan bin Fulan, Fulan bin Fulan, dan Sa’id bin Amir Al-Jumahy, kemudian menyerahkannya kepada Amirul Mukminin.
Umar : ”Siapakah Sa’d bin Amir?”
Ahlu Hims : “Amir kami.”
Umar : “Amir kalian faqir…?”
Ahlu Hims : “Ya. Dan demi Allah, pernah dalam beberapa hari tidak apa api yang menyala di rumahnya..”
Maka Umar pun menangis sampai basah jenggotnya. Beliau mengambil seribu dinar dan meletakkannya dalam kantung kemudian berkata, “Sampaikanlah salamku kepada amir kalian dan katakan bahwa Amirul Mukminin memberikan uang ini kepadanya untuk memenuhi kebutuhannya…”
Ketika utusan tersebut datang, Sa’id pun membuka kantung itu. Dan setelah membuka dan melihat isinya…
Sa’id : “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un..!!”
Istri Sa’id : “Ada apa Wahai Sa’id…Apakah Amirul Mukminin wafat?”
Sa’id : “Bahkan lebih dari itu…”
Istri Sa’id : “Apakah pasukan kaum muslimin kalah dalam peperangan?”
Sa’id : “Bahkan lebih dari itu…”
Istri Sa’id : “Apalagi yang lebih dari pada itu?”
Sa’id : “Dunia telah datang kepadaku untuk menghancurkan akhiratku. Fitnah telah merasuki rumahku!”
Istri Sa’id : “Kalau begitu, berlepas dirilah darinya….”
Sa’id : “Apakah Engkau mau membantuku?”
Istri Sa’id : “Tentu saja”
Sa’idpun mengambil uang tersebut dan membagikannya kepada kaum muslimin


Pada suatu hari Abu Hurairah sedang berjalan-jalan di pasar Madinah. Ia melihat orang-orang telah sangat sibuk dengan urusan dunia mereka. Abu Hurairah berkata, “Betapa payahnya kalian!” Maka mereka menjawab, “Apanya yang payah dari kami Wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Warisan Rasulullah sedang dibagi di masjid sedangkan kalian berada di sini…”
Merekapun bergegas menuju masjid, namun tak lama kemudian mereka pulang dan mendapati Abu Hurairah berdiri menyambut mereka. Mereka berkata, “Wahai Abu Hurairah. Kami telah pergi ke masjid namun kami tidak mendapati apa yang Engkau katakan.” Beliau balik bertanya, “Kalau begitu, apa yang kalian temukan di masjid?” Mereka menjawab, “Kami hanya melihat orang-orang yang sedang shalat, membaca Al-Quran, dan orang-orang yang sedang berdiskusi tentang masalah halal dan haram…” Abu Hurairahpun berkata, “Celakalah kalian. Itulah warisan Rasulullah yang aku maksudkan!”


Abu Hurairah adalah seorang yang sering berpuasa pada siang hari. Pada malam hari, Beliau bangun dan shalat pada sepertiga malam yang pertama, kemudian membangunkan istrinya. Istrinya shalat pada sepertiga malam yang kedua, kemudian membangunkan anak perempuannya. Anak perempuannya pun bangun dan shalat pada sepertiga malam yang terakhir sehingga rumah Abu Hurairah tdak pernah kosong dari ibadah pada malam hari.


Abu Hurairah selalu berdiri di depan kamar ibunya setiap kali Beliau akan pergi ke luar rumah, dan berkata, “Assalamu’alaikum wa rahmatullah Wahai Ibuku.” Ibunya menjawab, “Wa’alaikumus salamu wa rahmatullah.” Abu Hurairah berkata, “Semoga Allah menyayangimu seperti Engkau menyayangiku sejak kecil.” Ibunyapun menjawab. “Dan semoga Allah menyayangimu seperti Engkau menyayangiku saat aku tua.”


Ketika Abu Hurairah sakit pada akhir hayatnya, Beliau menangis. Orang-orang berkata kepadanya, “Apa yang menyebabkan kamu menangis Wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Aku tidak menangis karena akan meninggalkan dunia kalian…Aku menangis karena aku telah melewati jauhnya perjalanan dengan bekal yang sangat sedikit. Dan kini aku berdiri di ujung jalan yang bercabang, satu ke surga dan satu ke Neraka. Sedangkan aku tidak tahu sama sekali di mana perjalananku akan berakhir…”

0 komentar:

Posting Komentar