Pages

Sabtu, 23 Januari 2010

Kita Memang Berbeda, Cinta

Pena Kecil Helvy Tiana Rosa

“Ayah bunda lucu deh,” kata anak kami Faiz, pada suatu hari yang gerimis.

Saya mengerutkan kening sambil tersenyum. “Lucu? Lucu apanya sayang?”

“Orangnya bertolak belakang! He he he….”

Saya tersentak sesaat. Faiz, anak kami yang belum berusia 10 tahun dan suka menulis puisi, “membaca” kami sedalam itu.

Saya manggut-manggut. “Hmmm, lalu apanya yang salah?”

Dia mengerling menggoda. “Tidak ada. Ayah Bunda pasangan yang unik!”

Saya dekatkan wajah saya pada Faiz dan menyentuh lembut hidungnya.

“Aku mencatat beberapa contoh. Bunda suka durian, ayah anti durian. Bunda periang, ayah pendiam. Bunda humoris, ayah sangat serius. Hmmm, apalagi ya? Ayah menganalisa, bunda sensitif. Ayah itu detail, bunda tidak. Ayah dan bunda memandang persoalan dengan cara berbeda. Menyelesaikan persoalan dengan berbeda pula!”

Saya bengong.

“Bunda romantis tapi ayah tidak. Kalau aku romantis!” katanya setengah berbisik, lalu tertawa.

Saya tambah bengong! Tahu apa anak itu tentang romantisme?

Faiz terus nyerocos. Ia pun bercerita, tentang percakapan disekolah dengan teman-temannya. Anak-anak SD Kelas IV ituternyata sudah berpikir, kelak kalau menikah harus mencari pasangan yang sifatnya sama! “Kalau tidak nanti bisa cerai!”

What? Saya garuk-garuk kepala.

“Aku saja yang tidak begitu setuju, Bunda. Aku bilang pada teman-teman, justru karena ayah bunda berbeda, jadinya malah asyik lho!”

Saya geleng-geleng kepala lagi, sambil mengulum senyum. Ah, tahukah para orangtua mereka bahwa anak-anak mereka kadang tahu lebih banyak dari yang kita pikir?

Tak lama Faiz sudah asyik dengan bacaannya di kamar. Di ruang kerja saya, tiba-tiba wajah beberapa teman lama melintas.

A memilih bercerai karena setelah menikah 10 tahun dan punya 2 anak kemudian merasa ia dan suami sama sekali tak cocok!

B menjalani kehidupan rumah tangganya dengan perasaan hampa karena tak kunjung merasa cocok dengan suaminya, setelah menikah belasan tahun.

C selalu berkomunikasi dengan suaminya tentang berbagai hal, tapi terpaksa cekcok hampir setiap hari karena tak kunjung sampai pada sesuatu bernama kesamaan.

D tak lagi peduli pada indahnya jalan pernikahan dan sekadar menjaga keutuhan rumah tangga sampai akhir hayat.

Di antara mereka ada yang seperti saya, menikah karena
dijodohkan sahabat atau ustadz. Ada pula yang menikah setelah melalui pacaran lebih dahulu bertahun-tahun. Dan atas nama “ketidakcocokan” itulah yang terjadi.

Saya akui, pengamatan Faiz jeli. Saya dan Mas Tomi memang sangat berbeda. Sebelas tahun kami bersama dan berupaya mencari titik temu. Tak selalu berhasil. “We are the odd couple!” kelakar kami.

Tapi alhamdulillah, di tengah-tengah segala perbedaan itu, kami berusaha untuk tak berhenti berkomunikasi. Saya mencoba memilih waktu yang tepat, yang menyenangkan untuk bicara berdua. Begitu juga Mas. Kami membicarakan perbedaan kami di saat dan di tempat
yang nyaman dan menyenangkan.

Kadang tak semua perlu dibicarakan. Mas menunjukkan dengan sikap apa yang ia inginkan dari saya. Kadang saat saya lelah, tanpa harus terucap kata “saya capek,” Mas memijat pundak dan punggung saya. Saya tahu, saya menangkap, Mas akan senang kalau saya perlakukan demikian pula. Saya selalu memberi kejutan di saat milad, ulang tahun pernikahan, di saat ia meraih kesuksesan atau
kapan saja saya mau. Mas menyadari, itu artinya saya pun ingin diperhatikan demikian. Ia mencoba, meski sebelumnya tak ada tradisi itu di keluarga Mas. Saya membuatkannya puisi saat Mas kerap memberi saya data statistik keuangan kami. Mas tahu, saya ingin sesekali diberi puisi sederhana tentang cinta. Saya pun menyadari, Mas ingin saya bisa mencatat semua pemasukan dan
pengeluaran rumah tangga dengan rapi. Mas suka makanan tertentu. Dan meski tak suka, saya coba memasaknya. Saya membelikan Mas pakaian yang sedikit modis. Mas nyengir, tapi ia coba memakainya.

Berupaya untuk memahami dan mengecilkan perbedaan menjadi indah, ketika itu dilakukan dengan senyum dan ketulusan, bukan karena tuntutan atau paksaan terhadap pasangan. Dan kalau dengan berubah kita lantas menjadi lebih baik, kalau berubah itu dalam rangka ibadah, dalam rangka membuat pasangan kita bahagia, mengapa tidak? Kalaupun pasangan kita tidak juga berubah dari karakter semula setelah bertahun-tahun, mengapa kita tak melihat hal itu sebagai keunikan yang makin membuat kita “kaya”?

Di atas itu semua, sebenarnya semua perbedaan bisa saja seolah lebur saat suami istri menyadari persamaan utama mereka, yaitu keinginan menjadi abdi illahi sejati! Cinta karena dan untukNya, menjadikan sifat dan karakter yang paling berbeda sekalipun, bersimpuh atas namaNya. Perbedaan justru menjadi masalah serius ketika masing-masing pribadi memang tidak menempatkan ridho Allah sebagai tujuan utama dalam biduk rumah tangga mereka.

Di luar, hujan mulai reda. Sayup-sayup saya dengar suara Faiz di telpon. Rupanya ia sedang bercakap dengan salah satu temannya.
“Apa? Ayah bundamu bertengkar? Sudah, jangan menangis. Cinta yang besar kepada Allah, akan selalu menyatukan mereka!”

Saya nyengir. Sejak kapan anak itu menjadi konsultan ya?
“Hidayah Itu Akhirnya Datang” May 18, 2007
Posted by ikět in HikmaH.
add a comment

dr milis DT

Sahabat MQ, hidayah itu rahasia Allah. Karena datang dengan cara yang tidak pernah diduga sama sekali, kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh-Nya. Namun sesungguhnya, Allah Maha Pengasih dan Penyayang sehingga hampir setiap orang Dia berikan hidayah, untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Sayangnya, tidak setiap orang mampu menjemput hidayah yang dianugrahkan oleh-Nya.

Sangatlah lumrah jika seorang akhwat seperti saya mendambakan seseorang untuk menjadi pasangan hidup. Apalagi, usia saya sudah tidak muda lagi. Mungkin di masa-masa itu tidak menikah di usia 30 tahun merupakan sesuatu yang aneh. Bagaimana tidak, di masa itu anak perempuan usia belasan saja sudah menikah, bahkan ada yang sudah menggendong anak. Entahlah, sampai seusia itu saya belum menemukan pria yang cocok. Kalau kata orang saya itu banyak maunya, tampaknya tidak beralasan pula. Mungkin, saya termasuk orang yang mengandalkan hati dalam mencari pasangan hidup. Jika saya menyukainya tak peduli orang tua tak setuju, saya akan memperjuangkannya.

Di usia yang sudah matang itu, saya mulai merenungi apa yang membuat saya tak kunjung menemukan pasangan hidup. Padahal, saya bertemu banyak orang, dari berbagai karakter dan latar belakang, dari yang berpenampilan biasa-biasa saja hingga yang berpenampilan sangat menarik dan tampan. Namun, mendapatkan pendamping hidup ini ibarat mencari jarum dalam jerami. Sangatlah tak mudah. Sahabat MQ, sedih hati ini, jika orang tua mulai menuntut saya untuk segera mencari jodoh. Tak bisa dipungkiri, kekecewaan tetap muncul di saat mendengar teman-teman atau kerabat menuju ke pelaminan. Satu hal yang kerap melegakan dan menghibur hati ini adalah karena saya bekerja di sebuah perusahaan besar, dengan penghasilan tak kecil. Di saat kesepian itu melanda saya hanya bisa larut dalam pekerjaan. Namun sungguh, di saat saya ditinggalkan teman-teman dan saudara untuk menikah terlebih dahulu, bahkan di kalangan mereka yang masih berusia muda, saya mulai merasa gelisah. Kekhawatiran timbul dalam
diri saya, akankah saya menikah?

Di saat-saat penuh harap itulah, seseorang datang dalam kehidupan saya. Seseorang yang datang tanpa pernah saya duga-duga, Dia adalah seorang parter kerja saya. Tepatnya, dia sering berhubungan dengan saya jika ada urusan dengan perusahaan. Awalnya hubungan kami sebatas hubungan kerja, namun begitu seringnya kita bertemu dan saling bertukar pikiran, kita merasakan kecocokan. Saya mulai merasa tertarik padanya walaupun hati ini berat karena ia sudah menikah dan memiliki anak. Terus dan terus saya redam perasaan kagum itu, semakin saya tak mampu menepisnya. Ternyata, dia juga tak mampu berpisah dengan saya. sampai suatu hari, ia meminta saya untuk menjadi istrinya walaupun harus menjadi istri kedua. Lama saya merenungi permintaannya, lma saya menimbang.Memikirkan resiko yang harus saya hadapi di kemudian hari. Bagaimana sikap saya jika bertemu istrinya?, Apa yang harus saya lakukan jika anak-anaknya memusuhi saya?, Sudah siapkah saya?.

Renungan demi renungan, pertimbangan demi pertimbangan akhirnya membuat saya memutuskan untuk menikah dengannya. Sungguh, bukan sekadar rasa cinta yang saya rasakan, pertimbangan usia dan dorongan keluarga yang akhirnya membuat saya ingin menikah dengannya. Sekali lagi, di masa itu menjadi istri kedua, ketiga, dan seterusnya, masih merupakan sesuatu yang pantas digunjingkan. Mungkin, masih sebuah “keburukan” Namun, saya terima itu semua dengan lapang dada, karena saya sudah memutuskan dengan matang.

Setelah menikah sang suami meminta saya untuk keluar dari pekerjaan.Saya sempat tak terima, mengingat posisi saya di perusahaan sudah cukup tinggi,dengan penghasilan memuaskan.Namun demi menyenangkan hati suami saya akhirnya menuruti keinginannya. Kini saya hanyalah seorang wanita yang setiap saat hanya menunggu suami datang, dengan cinta yang harus dibagi. Beberapa waktu lamanya saya mengalami saat-saat itu. Sungguh, awal pernikahan masih indah semata. Walaupun sang suami tak disamping saya selamanya, saya merasakan manis dalam pernikahan itu. Saya anggap pernikahan saya dengannya adalah sebuah keunikan, berbeda dengan orang lain. Anggapan itulah yang membuat saya bisa menerima keadaan menjadi istri kedua dan tetap merasakan kebahagiaan.

Suatu hari saya dihadapkan oleh sesuatu yang selama ini saya khawatirkan. Seseorang menemui saya, dan mengaku sebagai istri pertama suami saya. Sungguh, pertemuan itu sangat tak diduga-duga dan mengejutkan. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah penampilan wanita itu, Wajahnya memang tidak cantik, namun juga tidak jelek. Di mata saya, dia adalah wanita yang anggun, dengan busana panjang menutupi seluruh bagian tubuh, lengkap dengan jilbab penutup rambut. Di masa itu, berbusana muslimah seperti itu merupakan keanehan. Wanita muslim secara umum tak ada yang mengenakannya. Kalaupun ada, hanya terjadi di sekolah-sekolah Islam, atau di pesantren. Bahkan, di masa itu istri-istri ahli agama, bahkan guru mengaji wanita-pun tidak mengenakan busana seperti itu. Saya takjub terhadapnya, Bukan hanya pada penampilannya tapi sikapnya yang sangat tenang dan lemah-lembut pada saya. Tak ada sedikitpun percikan amarah pada saya. Dia bertemu dengan saya seperti layaknya bertemu seorang
kenalan baru yang tak ada masalah.

Pertemuan pertama dengan wanita berjilbab itu, bagi saya merupakan pertemuan yang aneh. Hati saya tak keruan mengingatnya. Namun, di hari lain ternyata dia masih juga mengunjungi saya. Masih dengan suaranya yang lembut, tak ketinggalan senyuman tersungging di bibirnya. Dalam pertemuan kedua ini, dia banyak membicarakan tentang Islam. Nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kali ini saya merasa malu hati, mengingat saya adalah orang Islam yang tak tahu apa-apa tentang Islam. Kalaupun tahu, hanyalah seputar rukun Islam yang diajarkan di sekolah dasar dahulu. Hanya sekadar tahu, saya tak rajin melakukannya. Shalat, mungkin kalau ingat dan ingin saja. Mengaji, mungkin baru tahapan mengeja saja, apalagi berjilbab?, saya tak tahu bahwa hal itu wajib hukumnya. Ah.. semuanya sangat minim.

Pertemuan berikutnya dia mengajak dialog tentang ibadah dan akhlaq Islam pada saya. Satu hal yang membuat saya kerasan berbicara dengannya, ia tak pernah menilai saya itu buruk, jahat, atau “Islam KTP” mungkin istilahnya. Wanita itu membuka pemikiran dan pemahaman saya terhadap Islam, yang selama ini hanya saya tak tahu-menahu. Pertemuan antara saya dengannya terus dan terus dilakukan. Sampai suatu ketika, ia memberikan saya mukena yang cantik, dan sebuah sajadah. Dengan tulus dia berikan kepada saya, tanpa bermaksud memaksa saya untuk menggunakannya. Sungguh, pemberian itu ilmu Islam yang dia berikan kepada saya, keramahannya, dan kelemah-lembutannya itu, membuat saya malu hati.t saya ingin membalas kebaikannya tapi saya tak tahu apa yang harus saya lakukan?. Satu hal dari pertemuan dan sosoknya yang menarik itu, saya mulai tertarik untuk mendalami Islam. Karena informasi yang diberikannya, saya mulai melaksanakan shalat lima waktu. Pelan-pelan tapi pasti, saya lakukan
ibadah itu secara rutin, Saya lakukan shalat lima waktu tanpa ketinggalan satu kalipun, sampai akhirnya saya merasakan shalat sebagai kebutuhan, sehingga tak ingin meninggalkannya.

Bukan hanya melaksanakan shalat lima waktu, saya juga mulai belajar membaca Al-Qur’an. Wanita itu yang mengajarkannya pada saya sampai akhirnya saya mampu membaca sendiri, walaupun tidak bagus. Sungguh, kehadiran wanita itu membuat diri saya berubah.. Berbah menjadi lebih baik. Bahkan, berkali-kali saya bersyukur atas perubahan ini.

Lama saya merenung, lama saya meminta petunjuk Allah, akhirnya saya memutuskan sesuatu yang saya rasa berat, namun saya ingin melakukannya. Entahlah, mungkin karena kebaikannya mungkin juga karena hati saya yang sudah berubah, dan tentu saja semata karena petunjuk Allah demi kebaikan saya, akhirnya saya memutuskan untuk bercerai dengan suami saya. Hati saya memang ingin melakukannya, dan saya merasakan ketenangan saat melakukan hal itu. Sungguh, suami saya sempat terkejut dengan keputusan itu, namun saya sungguh-sungguh menginginkannya. Saya ingin wanita itu berbahagia dengan suami yang dicintainya, tanpa harus berbagi perhatian dengan saya. Bahkan, saya sempat bertanya dalam hati, mengapa seorang pria bisa menyakiti istri sebaik itu?. Kalau saja saya yang ada di posisinya, saya mungkin sudah melabrak istri kedua suami saya, bahkan menerornya. Atau, saya mengutuknya habis-habisan. Namun, apa yang dilakukan wanita itu pada saya?. Sungguh, malu saya terhadap kebaikannya.
Bukannya marah kepada saya, ia justru memberikan kenikmatan hidup kepada saya, kenikmatan beribadah, kenikmatan dekat dengan Allah, kenikmatan dalam Islam. Sungguh, adalah sebuah harga yang tak bisa dibayar dengan uang, atau dengan apapun.

Keputusan bercerai itu saya hadapi dengan keyakinan diri. Saya memang tak lagi memiliki seorang pendamping hidup, seorang pelipur lara, dan orang yang mengayomi diri ini, tapi, kini saya memiliki pelindung yang Maha segalanya Allah SWT. Siapakah yang mampu menandingi wujud-Nya?

Wallahu A’lam bis shawab

0 komentar:

Posting Komentar