Pages

Rabu, 20 Januari 2010

~Selingan Cinta Dari Khazanah Lama~

~Selingan Cinta Dari Khazanah Lama~


Ada seorang gadis yang sangat cantik sekali dan sangat rupawan. Dialah bunga disebuah kota yang harumnya semerbak hinga sampai ke negeri-negeri tentangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit sekali yang pernah mendengar suaranya, dan bisa di hitung jari orang yang pernah beruriusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman syurga.

Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seseorang pemuada yang yang belum pernah ia lihat sebelumnya, belum pernah ia lihat wajahnya, belum pernah ia dengar suara pemuda tersebut. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaqnya suci. Bahwa ketaqwaannya telah berulangkali teruji. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan para ibu yang merindukan menantu.

Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terkadang terpisah oleh jarak, terkadang terkekang waktu. Tersekat oleh rasa asingf dan ragu. Hingga hari pun telah tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti cintanya bersambut sama.

Maka di tulisnya surat itu, memohon bertemu.

Dan ia mendapat jawban. ”Ya”, katanya.

Akhirnya mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya, kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikan bicara, karena demikianlah kebiasaan ada pada keluargnya.

”maha suci Allah.” kata si gadis sekilas kembali memandang,”yang telah menganugerahi engaklu wajah yang begitu tampan.”

Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. ”Andai saja kau lihat aku”, katanya, ”sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.”

”betapa inginnya aku”, kata si gadis, ”meletakan jemariku dalam genggaman tanganmu,”

Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. ”Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka, yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akherat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan.”

Sang gadis ikut tertunduk. ”tapi tahukah engkau”. Katanya melanjutkan, ”Telah lama aku di landa rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakan kepalaku di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan.”

”jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. ”Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”

Kita cukupkan sampai di sini kisah ini. Mari kita dengar komentar Syaikh ’Abdullah Nashih ’Ulawan tentangnya. ”Apa yang kita pelajari dari kisah ini?” demikian beliau bertanya. ”sebuah kisah yang indah. Sarat dengan ’ibrah dan pelajaran. Kita lihat bahwa sang pemuda demikian fasih membimbing si gadis untuk menghayati kesucian dan ketaqwaan kepada Allah.”

”tapi”, kata beliau memberi catatan. ”Dalam kisah indah ini kita tanpa sadar melupakan satu hal. Bahwa sang pemuda dan sang gadis melakukan pelanggaran syariat. Bahwa sang pemuda mencampuradukan kebenaran dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas dakwah dalam atmosfer yang ternoda. Dan dampaknya bisa kita lihat dalam kisah, sang gadis sama sekali tak mengindahkan dakwahnya. Bahkan ia semakin berani dalam kata-kata, mengajukan permintaan-permintaan yang makin meninggi tingkat bahayanya dalam pandangan syariat Islam.”

Ya. Dia sama sekali tak memperhatikan isi kalimat dakwah sang pemuda. Buktinya, kalimat makin berani dan menimbulkan syahwat dalam hati. Mula-mula bergandengan, jemarinya menyatu bertautan. Kemudian membayangkan berbaring dalam pelukan. Subhanallah, bagaimana percakapan diteruskan tanpa batas waktu?

”kesalahan itu”, kata syaikh ’Abdullah Nashih ’Ulawan memungkasi, ”Telah terjadi sejak awal.” apa itu? ”Mereka berkhalwat!!! Mereka tak mengindahkan peringatan syari’at dan pesan Sang Nabi tentang hal yang satu ini.”

Di sadur dari buku jalan cinta para pejuang karya Salim A. Fillah

0 komentar:

Posting Komentar